Beberapa hari yang lalu saya berkesempatan pulang, pulang kampung..sudah lama saya tidak pulang dan sepertinya ayah maupun ibu saya sangat merindukan berkumpul dengan anaknya, dalam hal ini adalah “saya”.
Dan benar saja; sesampainya dirumah mereka sangat girang sekali, sesekali bertanya bagaimana dengan kabar saya dan sayapun bertanya sebaliknya. Yah…memang sejak dulu, diantara anak-anak yang lain, sayalah yang paling dekat. Dekat dalam arti tempat kerja yang tidak terlalu jauh dengan kampung halaman, jadi kapanpun mau pulang tinggal pulang saja karena jarak tempuh tempat kerja dan kampung halaman hanya 2 jam saja.
Hari itu saya menyediakan pulang karena saya teringat bahwa hal terbesar yang saya miliki sekarang adalah mereka; Masih teringat jelas di benak saya peristiwa 5 tahun yang silam, peristiwa yang mungkin akan selalu membekas dan mungkin akan “menempeleng” batin saya untuk tidak mengulanginya kembali.
Malam itu saya terlibat adu argumen dengan ayah. Adu argumen ini berganti cekcok ketika terjadi perbedaan prinsip. Motif dari pertengkaran kami sebenarnya tidak begitu penting, yaitu keinginan kuat saya untuk meninggalkan jawa dan mengambil job oportunity dengan sallary yang sangat besar. Tapi waktu itu ayah saya melarang dan berkata “semua saudaramu sudah jauh meninggalkan kami, jarang pulang, kalau kamu pergi lalu bagaimana dengan kami?”
Saya membantah “kalau ayah melarang saya, bagaimana saya bisa berkembang? toh kan saya kan masih dapat menelepon ayah? diakui atau tidak akar dari permasalahan dikeluarga kita karena kita serba kekurangan kan?” dengan nada tinggi
Mendengar argumen itu; ayah terdiam sejenak, tertunduk dan kemudian menutup raut wajahnya yang sudah tampak berkerut dengan kedua telapak tangan yang renta. Melihatnya diam, saya merasa meraih kemenangan, dan batin saya bersorak “yessss..!!!”
Walau lamat tapi saya masih mampu mendengar desahan ayah sambil berkata “baiklah kalau itu maumu, ayah tidak bisa melarang, kamu sudah dewasa, kamu lebih pintar dari ayah. Tapi perlu kamu tahu, kita memang hidup serba kekurangan, tapi bukankah kita masih selalu bisa bertahan?. Dimasa tua ini; ayah hanya berharap minimal ada satu orang anak yang menemani masa tua kami” sambil menatap saya dengan tatapan sayu.
Ayah meningkalkan kamar saya dengan perasaan kecewa. Melihatnya meninggalkan kamar membesitkan sepenggal perasaan sesal di hati saya. Saya merasa ada yang salah dengan perkataan saya. Hampir setengah jam tidur saya tidak nyenyak dengan perasaan berkecamuk. Tapi mungkin karena capek akhirnya sayapun terkantuk dan terlelap. Dalam lelap,entah kenapa walau sayup saya dapat mendengar lantunan Al-Qur’an memecah heningnya malam, ini adalah lantunan bacaan Al-Qur’an terindah yang pernah saya dengar. “Eh….ini kan suara ayah saya?” lho kok tidak seperti biasanya?..
Makin lama lantunan itu semakin melemah, dan bacaannya semakin terbata-bata, parau tapi kok bikin jantung saya deg-degan nggak karuan ya? “ada apa ini?”
Saya tinggalkan kamar dan mencari tempat sumber suara, sesampainya di ruang tengah saya mendapati pemandangan yang membikin bulu kuduk dan membuat hati saya remuk..!!!!!!
Disana saya mendapati ibu saya mengguncang-guncang pundak ayah yang duduk di sofa sambil membaca kitab suci, ibu saya menangis sambil berkata “pak ada apa tho pak, pak…..pak… pak kalau ada masalah bilang, jangan membuat kami merasa bersalah….”.Namun bapak saya tak bergeming..!!!! beliau tetap saja melanjutkan lantunan Al-Qur’an, terbata-bata dan terisak!!!!
Pemandangan macam apa ini???? Kaki saya terasa lemas, lidah terasa kelu dan dada saya terasa sesak, entah dari mana datangnya tiba-tiba suara batin saya berteriak kencang dan mengutuk saya….. “dasar anak durhaka!!!!”.
Ya Allah… “apa yang telah kulakukan?”
Kitab suci di pangkuan bapak saya tampak basah, makin lama bacaan Al-Qur’an ayah makin lamat seiring dengan derasnya air mata yang keluar dari kedua sudut matanya, sesekali dia mengeraskan suaranya yang parau agar bacaannya tetap jelas terdengar dan makin lama makin menyayat heningnya malam..
Duh Gusti….ternyata ayah saya telah mengadu, mengadu kepada Tuhan, disaat tak ada orang lain tempatnya mengadu ternyata Tuhan masih memberikan tempat bagi hambanya untuk mengadu. Dan ajaibnya aduan ayah saya dijabahi oleh SANG MAHA BAIK dengan cara “menempeleng” kerasnya hati saya hingga retak. Ternyata tuhan tidak menyukai sikap saya..!!!
Ibu saya tampaknya juga sudah menyerah untuk menghentikan, matanya berkaca-kaca dan hanya duduk disamping ayah sesekali menyeka air matanya. Ibu menatap saya tajam, seakan akan menunjuk, sayalah biang keladi dari hancurnya hati ayah.
Malam itu heningnya malam terpecah oleh paraunya lantunan Kitab Suci, saya tak berbicara, ibu saya hanya diam sedangkan ayah saya tetap saja mengadu pada Tuhan…
Maafkan saya Ayah…. 🙁
Sejak itu saya menyediakan diri untuk menghentikan perilaku-perilaku negatif yang biasa saya lakukan dimasa lampau. Dan hari ini dan seterusnya, saya akan mencoba melakukan hal-hal yang saya yakin ayah bahkan Tuhan-pun menyukainya.
Komentar Terbaru